Jumat, 17 Juni 2011

Habibie Pernah "Ditantang" Soeharto


Mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie dalam ceramahnya di Al Azhar Conference Center (ACC) di Kairo, Mesir, pada Senin (6/6/2011), mengungkapkan bahwa ia pernah ditantang Presiden Soeharto untuk mengaktualisasi ajaran Islam.

"Pak Habibie saya lihat tak pernah absen berpuasa hari Senin dan Kamis dan setiap saat beribadah haji umrah di Mekkah, Arab Saudi. Bisakah mengaktualisasikan ajaran Islam itu dalam kehidupan nyata," kata Habibie mengutip penguasa Orde Baru itu.

"Jadi Pak Habibie sebagai ilmuwan Islam harus membuktikan bahwa umat Islam Indonesia juga mampu bersaing dengan dunia internasional," katanya.

Habibie mengaku permintaan Soeharto itu selalu terngiang-ngiang di benaknya. Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia harus menjadi negara mandiri secara ekonomi dan politik untuk bisa bersaing dengan negara maju.

Itulah sebabnya, pada tahun 1990, Pak Harto manyambut baik berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), tempat Habibie selaku pendiri sekaligus Ketua Umum ICMI pertama.

Habibie merasa tertantang oleh keinginan Pak Harto dan juga perkataan orang-orang bule yang ia dengar sendiri bahwa Indonesia tidak bakal maju karena berpenduduk Muslim, karena tradisi Islam dianggapnya selalu menghambat kemajuan.

Habibie kemudian mengisahkan pidatonya dalam satu acara bergengsi internasional di Montreal, Kanada, pada 7 Desember 1994 yang dihadiri kebanyakan orang bule dan kalangan ilmuwan hebat dari berbagai negara.

Acara itu diadakan untuk memperingati Tahun Emas (Golden Jubilee) atau HUT ke-50 berdirinya Organisasi Penerbangan Sipil (The International Civil Aviation Organization/ICAO), dan Habibie terpilih sebagai ilmuwan dirgantara yang berjasa dalam pengembangan dan desain pesawat, yang paling berhak menerima Medali Edward Warner Award.

ICAO didirikan di Chicago, AS, pada 7 Desember 1944, yang kemudian menjadi salah satu Badan PBB, sedangkan Medali Edward Warner Award yang diambil dari nama pendiri dan pemimpin pertama ICAO diberikan kepada para ilmuwan dirgantara yang paling berjasa memajukan pernerbangan internasional.

Sekretaris Jenderal PBB saat itu, Boutros Boutros-Ghali—diplomat kesohor Mesir, juga hadir dalam HUT ke-50 ICAO tersebut.

Saat acara penyerahan Mendali, Boutros-Ghali membisiki Habibie agar sedikit memberi sambutan.

"Wah, saya tidak punya persiapan pidato sambutan, jadi tidak perlu saya pidato," ujar Habibie kepada Sekjen PBB itu.

Tetapi, ketua panitia acara itu mendatangi tempat duduk Habibie dan membujuk agar menyampaikan beberapa kata saja di podium, "Please, Tuan Habibie, hadirin menginginkan bapak memberikan sedikit sambutan".

Akhirnya, Habibie pun berdiri menuju ke podium dan disambut tepuk tangan membahana hadirin.

"Suasana hening saat saya berada di atas podium. Semua mata dan kamera wartawan mengarah ke saya, menanti apa yang hendak saya katakan. Tapi, apa yang terjadi, pertama kali saya ucapkan adalah bismillahir rahmanir rahim (dengan nama Allah Yang Mahapengasih dan Penyayang)".

"Suasana dalam ruangan yang dihadiri ribuan orang itu masih hening sejenak, lalu saya melanjutkan dengan kalimat assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh".

Dalam sambutannya, Habibie menegaskan bahwa semua orang berhak maju dan kemajuan itu tidak didominasi oleh agama atau etnis tertentu.

"Jadi, tidak ada alasan bagi orang-orang di negara terbelakang untuk tidak maju, saya telah membuktikan ini", katanya.

Seusai acara, kenangnya, para wartawan mengerumuni Habibie untuk memintai komentarnya atas penerimaan medali bergengsi itu.

Ada satu pertanyaan wartawan yang membuat Habibie tersentak, katanya, "Tuan Habibie, kami sudah mengetahui semua alasan mengapa Anda terpilih menerima medali ini, tetapi kami belum mengetahui saat ICAO didirikan di Chicago, AS, pada jam 10 pagi, 7 Desember 1944, Anda berusia berapa, berada di mana dan sedang ngapain?"

Mendengar pertanyaan wartawan, Habibie yang dilahirkan di Gorontalo, pada 25 Juni 1936, itu pun sejenak menerawang ke masa kecilnya.

"Waktu itu usia saya baru enam tahun, berada di rumah panggung di sebuah desa di Indonesia, dan pada jam itu saya punya jadwal tetap mengaji Al Quran," ujarnya kepada sang wartawan bule.

Asal bukan revolusi
Habibie mengemukakan bahwa semasa menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, Presiden Soeharto selalu mengamini apa saja yang ingin dibuat Habibie menyangkut pengembangan industri strategis, termasuk pembangunan PT Dirgantara Indonesia dan industri perkapalan, PT PAL, di samping membangun sumber daya manusia (SDM).

"Semua yang saya mau kerjakan disetujui oleh Pak Harto kecuali satu, yaitu tidak boleh ada revolusi," katanya.

Pak Harto bilang, "Orang Indonesia itu tidak neko-neko, yang penting kebutuhan pokoknya terpenuhi dan keamanan serta masa depannya terjamin, ya sudah mereka tenang. Jadi buat apa revolusi?"

Peraih doktor bidang konstruksi pesawat terbang di Universitas Aachen, Jerman, pada 1965, itu menggambarkan kehidupan yang sempurna adalah menggabungkan dua pilar utama, yakni iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan imtak (iman dan takwa).

"Iptek dan imtak harus berjalan beriringan. Iptek tanpa imtak, rasanya hidup ini hampa, begitu pula sebaliknya, imtak tanpa iptek, hidup akan terus terbelakang," paparnya.
Kendati demikian, Habibie menuturkan bahwa hidupnya tak berarti apa-apa tanpa peran penting dari dua wanita yang sangat ia cintai di dunia ini, yaitu (almarhumah) ibu kandungnya, dan istrinya, (almarhumah) dr Hasri Ainun Besar.

Habibie juga tak luput menyatakan rasa bangganya dengan keberhasilan putranya, Dr Ilham Habibie, yang kini memimpin ICMI.

"Saya bangga karena Ilham kini berkeliling dari satu masjid ke masjid lain di Indonesia untuk menjalin jaringan guna mencerahkan masyarakat baik dalam kehidupan duniawi maupun ukhrawi," katanya.

Ceramah Habibie di ACC yang dipandu Duta Besar RI untuk Mesir, AM Fachir, dan dihadiri sekitar 1.500 mahasiswa Indonesia ini dilakukan di sela Forum PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) di Kairo, tempat Prof Habibie bersama para pelopor reformasi dari sejumlah negara, termasuk mantan Ketua MPR Amien Rais, berbagi pengalaman mengenai landasan transisi demokrasi.

Menurut catatan UNDP, Habibie menjadi bintang dalam forum dalam dua hari (5-6/7) bertema "Patway of Democracy Transition: International Experiences and Lessons Learnt and The Road Ahead" tersebut.

Dalam paparannya di Forum UNDP yang disiarkan langsung di sejumlah stasiun televisi, termasuk Al Jazeera itu, Habibie mengetengahkan beragam persoalan ketika ia menjabat presiden di masa transisi setelah mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar