Sabtu, 16 Juli 2011

Indonesia Kekurangan 2 Ribu Dokter Spesialis


Staf Ahli Kementerian Kesehatan, Krisna Jaya mengatakan hingga saat ini Indonesia masih membutuhkan dokter spesialis untuk ditempatkan di berbagai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang tersebar di seluruh Indonesia. Idelanya, satu RSUD minimal ditempati oleh empat orang dokter spesial dari berbagai keahlian yang disesuaikan dengan kondisi setempat.
“Sampai saat ini Indonesia masih membutuhkan sekitar dua ribu dokter spesialis akan yang ditempatkan di berbagai RSUD di Indonesia untuk memenuhi quota empat orang dokter spesialis per RSUD,” ujar Krisna saat menjadi narasumber di acara Rakernas Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (Arsada) di Sanur Paradise Hotel, Kamis, 19 Mei 2011.
Ia mengaku, Indonesia sebenarnya bukan kekurangan tenaga dokter spesialis, tetapi banyak dokter spesialis yang tidak mau ditempatkan di berbagai RSUD dengan berbagai alasan, mulai dari gaji yang terlalu kecil hingga dengan keluhan tempat terpencil.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (ARSADA), Kuntjoro Adi Purjanto mengatakan, pelayanan RSUD di Indoensia saat ini belum begitu maksimal. Penyebabnya, banyak RSUD di Indonesia tidak independen, lantaran ketergantungan dengan pemerintah setempat. Sesuai dengan amanat UU No 44 tentang RSUD, bahwa RSUD harus menerapkan pola pelayanan Badan Layanan Umum Daerah.
“Seharusnya, pendapatan RSUD tidak perlu lagi disetorkan ke daerah, tetapi hanya mengetahui saja laporannya. Ini untuk mencegah praktik bisnis pelayanan kepada masyarakat, terutama masyarakat miskin yang memerlukan pelayanan optimal,” ujarnya.
Fakta yang terjadi selama ini, seluruh pendapatan disetor ke kas daerah, sementara pola pelayanan di RSUD sama sekali tidak menjadi perhatian dari pemerintah daerah setempat.
Akibatnya, banyak RSUD mencari keuntungan, sehingga banyak rakyat miskin, sekali pun sudah terjangkau Jamkesmas atau berbagai asuransi kesehatan lainnya, tidak terlayani dengan baik. Padahal, pemerintah daerah berkewajiban untuk membiayai pengobatan dan penyembuhan warga miskin yang menjadi tanggungjawabnya.
RSUD, sambungnya, harus diberi kewenangan penuh untuk mengolah sendiri pendapatannya. Sedangkan kekwatiran terhadap rakyat miskin yang berobat sebenarnya sudah dijamin pemerintah. RSUD tinggal mengklaim seluruh pembiayaan yang ada.
Menurut Kuntjoro, diskriminasi pelayanan bagi warga miskin selama ini memang ada hampir di seluruh RSUD, terutama bagi warga miskin kelas tiga. Namun, sejalan dengan sedang diprosesnya RSUD menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), keluhan tersebut semakin menurun dalam beberapa tahun terakhir.
Dikatakan, dari 521 RSUD, baru 47 persen yang sudah terakreditasi untuk menjadi BLUD. Sisanya, masih dalam proses hingga sekarang. Selama proses ini berjalan, kata dia, sudah pasti diskrimnasi terhadap warga miskin tetap ada. “Namun kami sudah cek, jika keluhan terhadap kasus diskriminasi tersebut terus menurun, karena yang menjadi masalah adalah komunikasi yang tidak berjalan sebagaiamana adanya. Banyak RSUD yang tidak memiliki perangkat Humas,” ujarnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar