Senin, 11 Juli 2011

Penelitian Baru Trek Jejak Karbon Minyak Kelapa Sawit


Untuk pertama kalinya, para peneliti menggunakan teknik satelit untuk mengukur dan memetakkan luasan penuh pembudidayaan kelapa sawit Asia Tenggara – dan terkait langsung dengan emisi karbon dioksida.Mereka memperhitungkan ada sekitar 8.3 juta hektar perkebunan kelapa sawit di Semenanjung Malaysia, Kalimantan dan Sumatra – yang adalah seukuran dua Switzerland.Pertumbuhan industri menyediakan sumber daya yang berharga – kelapa sawit secara luas digunakan dalam makanan, sebagai bahan bakar bio (biofuel) dan untuk membuat produk lain seperti kosmetik.
Dalam lima tahun terakhir produksi minyak kelapa sawit Indonesia tumbuh sebesar 13.41% per tahun, dengan pertumbuhan ekspor sebesar 16.24% per tahun dan pertumbuhan yang lambat pada konsumsi domestik.Produksi minyak kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia kini dalam fokus perdebatan pada Bahan bakar bio (biofuel) dan Karbon dioksida (CO2) dan Gas Rumah Kaca (GRK) lainnya, melalui keterkaitannya dalam debat publik mengenai deforestasi dan penggunaan (berlebihan) lahan gambut.
Penggunaan potensial minyak kelapa sawit sebagai biodiesel untuk mengurangi ketergantungan pada, dan emisi dari, penggunaan bahan bakar fosil telah memfokuskan pada debat mengenai emisi yang disebabkan oleh konversi lahan untuk kelapa sawit dan langkah-langkah selanjutnya dalam produksi.Sebagian dari 880,000 Ha perkebunan tersebut dikonversi dari hutan rawa gambut.
Tinggi dalam keanekaragaman hayati, rawa gambut memiliki simpanan karbon dioksida dalam jumlah besar, sehingga pembukaan hutan mengakibatkan 140 juta ton karbon ditambahkan ke atmosfer, peneliti menyimpulkan dari temuan mereka.Dua daerah yang dijadikan sebagai daerah percontohan yaitu terletak di Sumatera dan Kalimantan.
Bangunan penganalisis tutupan lahan di Sumatera (didirikan pada awal 1990-an) jelas menunjukkan bahwa lebih dari 40% dari area konversi perkebunan berasal dari bekas hutan tebangan. Hampir setengahnya adalah area hutan tebangan yang berkepadatan tinggi. Pada area perkebunan plasma, hampir 50% kelapa sawit dikonversi dari hutan, dengan 27%nya adalah bekas hutan tebangan berkepadatan tinggi dan 5% dari hutan rawa perawan. Pada area di sekitarnya, 67% kelapa sawit dikonversi dari hutan. Dari jumlah tersebut, 12% merupakan hutan rawa perawan dan 34% adalah hutan tebangan berkepadatan tinggi.
Di Kalimantan (didirikan pada awal tahun 2000), area sekitarnya masih menjalani beberapa aktivitas penebangan. Konversi dari hutan perawan menjadi hutan tebangan merupakan indikasi kuat bahwa proses ini berjalan. Konversi ke kelapa sawit berlokasi hanya kurang dari 35% dari area yang diamati. Di dalam areal perkebunan, lebih dari 90% area kelapa sawit dikonversi dari hutan, 30%nya merupakan hutan tebangan berkepadatan tinggi.
Makalah penelitian yang dilakukan oleh Dr Koh Lian Pin dan rekan-rekannya di National University of Singapore dan Swiss Technical University ETH Zurich dipublikasikan awal bulan Maret 2011 ini dalam Acara Kerja Akademi Nasional Ilmu Pengetahuan (Proceedings of the National Academy of Sciences).
Para penulis makalah tersebut juga mencatat bahwa teknik pemantauan satelit dapat digunakan untuk melacak seberapa jauh budidaya kelapa sawit telah merambah hutan gambut.Selain itu, penelitian mereka melihat implikasi apakah yang muncul dari bagaimana lahan yang telah dibersihkan sedang atau akan dimanfaatkan.
Sejak awal tahun 2000-an, 2.3 juta Ha lahan gambut telah dibersihkan, tetapi masih belum dibudidayakan. Area yang dibersihkan ini mungkin berisi kelapa sawit muda, sisa-sisa vegetasi asli atau rumput.Reboisasi area ini dapat meningkatkan burung, binatang dan tumbuhan hingga 20 persen di beberapa bagian, sedangkan penanaman kelapa sawit akan menurunkan spesies hingga 12 persen, para ilmuwan memperkirakan.
“Nasib lahan yang telah dibersihkan ini secara luas melibatkan lingkungan,” kata Dr Koh kepada The Straits Times melalui e-mail.
Pengembangan lahan akan memperburuk karbon dan kehilangan keanekaragaman hayati. Sebaliknya, konservasi dan regenerasi akan melindungi satwa liar dan membantu menyimpan lebih banyak karbon.Dr Koh menyarankan agar area dengan banyak hutan rawa gambut dilindungi, seperti Kalimantan Barat dan Tengah dan Riau. Kelapa Sawit bukanlah satu-satunya industri yang sedang dipelajari. Ilmuwan lain sedang menghitung dampak lingkungan dari industri pulp dan kertas, sektor lain yang sering terlibat dalam pembukaan lahan gambut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar